KONTAK24JAM. Jakarta Denny Indrayana sebagai calon Gubernur Kalsel, didampingi kuasa hukumnya Bambang Widjojanto, Heru Midodo, Febri Diansyah, Donald Fariz, TM Luthfi Yazid, Iwan Satriawan, M. Raziv Barokah dkk mendaftarkan perbaikan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Dua hari yang lalu, Senin 21 Juni, Denny memasukkan pendaftaran awal secara online. Hari ini Denny dan kuasa hukumnya melengkapi permohonan dan menyampaikan alat bukti. Tidak kurang dari 308 bukti yang akan terus bertambah yang disampaikan oleh paslon Calon Gubernur Kalsel tersebut. Dari seluruh bukti tersebut, 157 di antaranya adalah rekaman video yang membuktikan adanya politik uang yang sangat terorganisir dan makin terang benderang dilakukan oleh pasangan calon Sahbirin-Muhidin. Sisanya adalah rekaman suara, komunikasi perencanaan dan eksekusi kecurangan termasuk beberapa alat komunikasi yang berhasil didapatkan oleh tim hukum dan investigasi Haji Denny Difri, Paslon 2 Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kalsel.
Di dalam perbaikan permohonannya, Paslon 2 Haji Denny Difri, menegaskan amanat Kedaulatan Rakyat yang ditegaskan oleh UUD 1945, termasuk melalui pelaksanaan prinsip-prinsip pemilu yang LUBER, Jujur dan Adil, serta demokratis, terus mendapatkan tantangan dan hambatan. Yang paling menantang adalah ketika daulat rakyat tersebut (RAKYATokrasi atau demokrasi) berhadap-hadapan dengan godaan kekuatan duit (DUITokrasi).
Haji Denny Difri sedari awal sadar bahwa kompetisi ini tidak akan pernah mudah. "Kami sangat sadar berhadapan dengan Pasangan Calon Nomor Urut 1 (Sahbirin—Muhidin, Paslon 1), yang merupakan bagian dari kekuatan penambang utama batu bara di Kalsel. Sahbirin adalah gubernur petahana yang disokong penuh oleh kerabatnya, salah satu pemodal terkuat bukan hanya di Kalsel, tetapi juga di Indonesia; yang berpasangan dengan Muhidin, juga penambang yang kekayaannya secara resmi dinobatkan sebagai calon kepala daerah terkaya nomor satu senusantara, dengan LHKPN hampir mencapai 700 miliar rupiah," demikian dikutip dari rilis yang diterima SINDOnews.
Dalam rilis itu disebutkan, seluruh proses dan tahapan PSU Pilgub Kalsel yang berujung dengan pemungutan suara pada tanggal 9 Juni 2021 dipenuhi dengan pelanggaran dan kecurangan yang lagi-lagi menciderai prinsip konstitusional pemilu yang LUBER, Jujur dan Adil, serta Demokratis. Bukan hanya Paslon 1 yang terlibat kecurangan tersebut, namun penyelenggara, dan birokrasi pemerintahan pun terindikasi kuat bahkan terbukti menjadi bagian skenario yang melegitimasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Sahbirin—Muhidin. Modus kecurangan yang terjadi nyaris sempurna mencakup, antara lain:
1. Politik Uang Dilakukan Paslon 1 secara Terstruktur, Sistematis dan Masif di Seluruh Tujuh Kecamatan Tempat Pemungutan Suara Ulang (PSU), dengan Membagi Uang dan Barang, baik secara terang-benderang ataupun sembunyi-sembunyi.
2. Paslon 1 Menyalahgunakan dan Menjadikan Tim Sukses Aparat Birokrasi, termasuk Pada Level Desa di Seluruh Kecamatan Tempat Pelaksanaan PSU. Pada bagian ini oknum Kepala Desa dan RT mendapatkan politik uang berupa gaji bulanan, dan menjadi bagian utama strategi politik uang dan kecurangan pemenangan Paslon 1. Termasuk ada bukti dokumen yang menunjukkan adanya pembaiatan (ikrar janji) bagi para oknum RT untuk menyediakan suara pasti bagi pemenangan Paslon 1, tentu lagi-lagi dengan imbalan uang alias jual-beli suara.
3. Paslon 1 melalui Timnya, Memenangkan Kontestasi dengan Melakukan Intimidasi dan Praktik Premanisme. Termasuk dalam hal ini melakukan ancaman bahkan penjemputan paksa kepada pemilih untuk hadir dan mencoblos Paslon 1 di TPS 9 Juni.
4. Penegakan Hukum di Bawaslu Tidak Berjalan, Tidak Independen, Tidak Imparsial, Tidak Netral, dan Tidak Profesional. Hal ini karena sedari proses awal perekrutan, Bawaslu Provinsi Kalsel sudah disiapkan untuk menjadi bagian tim pemenangan Gubernur Petahana Sahbirin Noor.
5. KPU Berpihak kepada Paslon 1, Bukan Hanya dengan Mengulur Waktu Pelantikan KPPS, dan masih menggunakan KPPS yang Lama, KPU juga menerbitkan surat edaran syarat memilih yang melanggar UU Pilkada dan menguntungkan Paslon 1, yang telah melakukan mobilisasi pemilih untuk membuat KTP di hari-hari akhir menjelang 9 Juni 2021.
6. DPT sengaja dikacaukan oleh KPU demi Menghalangi Pemilih Sah Paslon 2 (Kehilangan Hak Pilihnya) dan Meloloskan Pemilih Tidak Sah Paslon 1 Agar tetap dapat Memilih.
Seluruh modus kecurangan itu dilakukan secara kasat-mata dan terang benderang. Calon Gubernur Paslon 1 Sahbirin Noor bahkan dengan sangat percaya diri membagikan uang dan barang kepada pemilih di wilayah PSU, sebelum pencoblosan 9 Juni 2021. Sahbirin tahu benar bahwa itu salah, karenanya warga yang mencoba memvideokan, selalu dilarang dan handphone-nya dirampas paksa, atau file videonya dihapus.
Modus kecurangan politik uang juga dilakukan dengan memberikan uang bukan saja pada pemilih di seluruh desa wilayah PSU, tetapi juga dengan memberikan politik uang berupa gaji bulanan kepada oknum kepala desa sebesar Rp 5 juta/bulan, oknum ketua RT sebesar Rp 2,5 juta/bulan dan oknum relawan RT sebesar Rp 2,5 juta/bulan selama waktu pelaksanaan PSU, di seluruh wilayah PSU.
Dengan praktik curang politik uang yang sangat terbuka demikian, Bawaslu Kalsel tetap dengan naifnya mengatakan tidak ada money politics dalam PSU 9 Juni 2021. Dalam laporan Paslon 2 atas politik uang yang TSM, Bawaslu Kalsel memutuskan bahwa laporan tersebut tidak memenuhi syarat masif, karena terjadi di kurang dari 7 kabupaten/kota. Bagaimana mungkin ada pembagian uang di minimal 7 Kabupaten/Kota, sedangkan PSU hanya dilaksanakan di 3 kabupaten/Kota? Pemahaman Bawaslu yang tidak logis dan tidak rasional demikian, didasarkan pada Perbawaslu 9/2020 yang tentu saja bertentangan dengan UU Pilkada. Atas pemahaman dan peraturan Bawaslu yang tidak akan pernah menjerat praktik politik uang yang masif demikian, Haji Denny Difri meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk menegakkan keadilan konstitusional dengan mendiskualifikasi Paslon 1 Sahbirin-Muhidin.
Bukan hanya Bawaslu, KPU Provinsi Kalsel juga melakukan kebijakan dan tindakan yang menguntungkan dan menjadi bagian strategi pemenangan Paslon 1. Salah satunya adalah ketika KPU Kalsel menerbitkan surat edaran tertanggal 8 Juni 2021, sehari sebelum pemungutan suara 9 Juni, yang mensyaratkan pemilih datang dengan membawa surat undangan dan KTP, atau Surat Keterangan. Surat edaran yang demikian menguntungkan Paslon 1 yang beberapa hari sebelumnya sudah memobilisasi orang-orang untuk menjadi pemilih, dengan membuat KTP-elektronik. Namun, pada saat yang sama surat edaran tersebut merugikan Paslon 2, karena banyak warga yang diidentifikasi sebagai pemilih Paslon 2, dengan sengaja tidak diberikan surat undangan oleh oknum RT atau timnya, yang telah menjadi bagian dari pemenangan Paslon 1.
Modus kecurangan ini makin sempurna ketika banyak NIK surat undangan yang tidak sama dengan KTP, menyebabkan banyak pemilih Paslon 2 secara sengaja dihilangkan hak pilihnya. Atau, kecurangan yang nyata-nyata terbukti dengan tidak samanya jumlah pemilih dalam daftar hadir (absensi) dengan jumlah pemilih dalam formulir C hasil, yang mengindikasikan kuat adanya mobilisasi pemilih tidak sah dari Paslon 1.
"Semua modus dan kecurangan itu lagi-lagi menunjukkan bahwa pelaksanaan PSU nyata-nyata tidak menghormati Putusan MK yang mengamanatkan Pilgub Kalsel dilaksanakan dengan menghargai setiap suara pemilih. Yang terjadi lagi-lagi pelanggaran prinsip-prinsip konstitusi (constitutional breach) atas Pilgub yang LUBER, Jujur dan Adil serta Demokratis, dan pelanggaran proses (process breach) yang makin terstruktur, makin sistematis, dan makin masif. Dengan fakta-fakta hukum yang tidak terbantahkan demikian, dan demi menegakkan amanat konstitusi, maka kepada Mahkamah Konstitusi dimohonkan untuk memeriksa hingga akhir permohonan sengketa Pilgub Kalsel, serta memutuskan Paslon 1 dibatalkan (diskualifikasi), atau paling tidak dinihilkan suara PSU-nya. (Rel)
0 Komentar