KONTAK24JAM - JAKARTA - Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut menyikapi sengkarut yang terjadi dalam tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dikutip Tribunnews.com, "Ketua umum PGI Gomar Gultom mengatakan, hal tersebut perlu dilakukan Presiden Jokowi mengingat telah terjadi upaya pelemahan di lembaga antirasuah itu menyusul keputusan pimpinan KPK yang memecat 51 dari 75 pegawai yang tak lulus TWK.
“Kita sangat prihatin dengan upaya-upaya pelemahan KPK yang terjadi selama ini, terutama yang memuncak dengan pelabelan intoleran dan radikalisme atas 75 pegawai KPK melalui mekanisme Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) belakangan ini," kata Gomar melalui keterangannya, dikutip Sabtu (29/5/21).
Menyikapi hal itu, Gomar mengatakan, pihaknya akan menyurati Presiden untuk dapat segera mengambil tindakan.
Adapun tindakan yang dimaksud yakni penyelamatan terhadap KPK dari upaya-upaya pelemahan tersebut, dengan cara menyelamatkan ke-75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lulus asesmen TWK untuk alih status menjadi ASN.
Sebab kata Gomar, seluruh pegawai yang dinonaktifkan tersebut merupakan pegawai yang memiliki kinerja dan integritas tinggi, tetapi harus dipecat dengan dalih tak lulus TWK.
Lantas Gomar mengaku khawatir kalau ke depan, para penyidik tidak akan maksimal melakukan tugasnya secara profesional, karena diyakini akan bernasib sama dengan ke-75 pegawai KPK tersebut.
"Karena kuatir mereka di TWK kan dengan label radikal, dan kami semakin khawatir, karena mereka yang dipinggirkan ini banyak di antara mereka yang sedang menangani kasus-kasus korupsi yang sangat signifikan," tukasnya.
Sebelumnya, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, bersama sembilan orang pegawai KPK mewakili 75 pegawai yang tak lulus asesmen tes wawasan kebangsaan (TWK) mendatangi ketua umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).
Kuasa hukum ke-75 pegawai KPK Saor Siagian mengatakan, tujuan perwakilan pegawai tak lulus asesmen mendatangi PGI itu karena keseluruhannya dituduh tidak Pancasilais bahkan dinilai Taliban.
"Tuduhan Taliban itu betul betul isapan jempol, omong kosong, karena sebagian kawan-kawan ini beragama lain, dan mereka yang selama ini menunjukkan integritas komitmennya," kata Saor kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Jakarta Selatan, Jumat (28/5/2021).
"Nah karena ini sangat serius maka kami bersama dengan kawan-kawan, Novel Baswedan bersama dengan sembilan kawannya menemui Ketua Umum PGI saudara Gomar Gultum," sambungnya.
Lanjut kata Saor, seluruh tuduhan kepada 75 pegawai KPK yang dinilai sudah tidak bisa dibina serta Taliban itu merupakan hal yang sangat keji.
Bahkan Saor menyebut kalau tuduhan itu adalah fitnah.
"Jadi itu yang kami serukan ke PGI, bahwa tuduhan-tuduhan yang disebut tidak bisa dibina atau anti pancasila menurut saya fitnah yang sangat keji," tuturnya.
Oleh karenanya kata Saor, akhirnya sikap untuk mendatangi ketua umum PGI dilakukan pada hari ini.
Karena menurut Saor, para pimpinan di PGI itu merupakan tokoh agama yang taat dengan iman dan kepercayaannya.
"Oleh sebabnya kami menemui tokoh agama bahwa mereka orang yang taat sesuai dengan iman dan kepercayaannya, bahkan novel sendiri hadir di sana sekalipun mereka berbeda agama dan kepercayaan," tukasnya.
Diketahui, sebanyak 51 pegawai KPK tidak lolos dalam TWK dan akan diberhentikan.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut, penilaian asesor terhadap 51 pegawai tersebut merah dan tidak mungkin dibina.
“Yang 51 orang, ini kembali lagi dari asesor, ini sudah warnanya dia bilang, sudah merah dan ya, tidak memungkinkan untuk dilakukan pembinaan,” kata Alexander dalam konferensi pers di kantor BKN RI, Jakarta Timur, Selasa (25/5/21).
Meski demikian, Alexander tidak menjelaskan lebih detail mengenai tolak ukur penilaian dan alasan kenapa pegawai KPK itu tidak dapat dibina.
Sementara, Kepala BKN Bima Haria Wibisana memaparkan tiga aspek terkait penilaian asesmen TWK.
Ketiga aspek itu yakni aspek pribadi, pengaruh, dan PUPN (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah).
“Untuk yang aspek PUPN itu harga mati. Jadi tidak bisa dilakukan penyesuaian, dari aspek tersebut,” tegas Bima. (Red)
0 Komentar